Jumat, 13 Juli 2007

Batik madura

Oleh TAUFIQURRAHMAN
Wartawan Radar Madura

Dia punya lima batik kuno buatan perajin batik di Kecamatan Tanjung Bumi, Bangkalan. Karena itu, koleksi batik kunonya tersebut sering dipinjam untuk dipamerkan di hadapan khalayak.

Dari mana Mei [sapaan akrab Siti Maimuna] memperoleh batik kuno tersebut? Ternyata, wanita ini beruntung mendapat warisan dari buyutnya. Dengan koleksi batik warisan itu, dia mendapat kesempatan untuk memamerkannya hingga ke luar negeri.

Koleksi batik kunonya tersebut ada yang berumur 200 tahun. ”Saya punya lima batik yang usianya 200 tahun. Penetapan umur batik itu bukan saya yang menentukan. Tapi berdasarkan hasil penelitian Museum Tekstil di Jakarta,” kata Mei.

Penetapan umur batik buatan pengrajin di Tanjung Bumi ratsuan tahun lalu itu, jelasnya, didasarkan bahan kain serta pewarna yang dijadikan bahan untuk membatik. ”Untuk pewarnanya alamiah semua. Bahan dari nila. Ada yang menyebutnya tom atau daun tarum,” jelasnya.

Kelima koleksi batik yang dimilikinya adalah jenis mano’ juduh tarpotè kellèngan, tarpotè bangan, burubur”, rawan mèra”, tana pasèr mèra. Semuanya berusia 200 tahun.

Dari koleksi itu, jenis mano’ juduh tarpotè kellèngan yang banyak diminati para kolektor dan pemilik museum. ”Ada yang menawar Rp 60 juta. Tapi tidak saya jual, karena itu warisan dari buyut saya,” ujarnya.

Menurut Mei, kain batik berupa sampèr atau kain panjang dipercaya oleh banyak orang memiliki kekuatan mistik. ”Dulu, kain batik ini sering dipinjam orang kalau ada ibu-ibu kesulitan saat melahirkan. Biasanya, kain (batik) ini dililitkan ke perut sang ibu agar bisa melahirkan dengan lancar,” kenangnya.

Selain koleksi lima batik kuno tersebut, Mei juga memiliki 300 kain batik kuno lain yang usianya di atas 40 tahun. Namun, koleksinya banyak yang dipinjam pemilik museum atau peneliti batik. Sebut saja Prof Tozu dari Jepang. Dia meminjam 85 koleksi batik kuno Mei untuk diteliti. Juga Okawa, pengelola graha budaya di Jepang, meminjam 200 lembar kain batik kuno untuk dipamerkan.

"Ada dua kain batik usia 120 tahun yang telanjur saya jual Rp 48 juta. Jenisnya sik melayah [Tasikmalaya] dan laskalasan [binatang hutan]. Maunya tidak saya jual, tapi terpaksa dijual untuk koleksi museum,” jelas kolektor yang mengaku masih punya garis keturunan dari Rato Ebhu ini.

Ketika ditanya dari mana dia memperoleh batik kuno tersebut, Mei mengaku memburu dari saudara dan kerabatnya. Sebab, orang tuanya juga punya banyak koleksi batik kuno peninggalan zaman kerajaan di Bangkalan tempo doeloe.

Selain itu, Mei memperoleh batik kuno dari hasil berburu langsung kepada masyarakat dan perajin di kawasanTanjung Bumi. ”Semua koleksi saya merupakan batik Tanjung Bumi,” katanya.